Di kota Gianyar, ada warung makan dengan menu andalan plecing kangkung. Namanya Warung Pojok, namanya sesuai dengan letak warungnya yang memang berada di pojok kota. Plecing kangkungnya pedas, bumbunya pas, tentunya jadi paduan yang enak sekali untuk makan siang terutama ketika Bali sedang panas.
Ketika pujian terhadap makanan enak ini disampaikan, teman yang menemani makan kemudian menyambar, “enak sih, tapi gak tahu kalau makannya sendiri.”
Kebanyakan orang menganggap bahwa makan sendiri tidak lebih baik dibandingkan makan bersama orang lain. Sobal seperti dikutip Giada Danesi dalam penelitiannya Pleasures and Stress of Eating Alone Together among French and Germany Adults menyebutkan bagi beberapa orang “eating alone is not even really eating”.
Kebanyakan menganggap bahwa makan bersama lebih menyenangkan dibandingkan makan sendiri. Sehingga ketika seseorang makan sendirian di warung makan tak jarang dicap miris, tragis, dan menyedihkan. Apalagi ketika warung makan yang didatangi memang menyediakan meja dengan tempat duduk lebih dari satu.
Studi terbaru menurut Gilda menunjukan bahwa ketika seseorang menyebut kata makan, makan yang dimaksud adalah makan yang dilakukan bersama orang lain. Tetapi, meskipun begitu, kebanyakan orang mau tidak mau harus makan sendiri karena jadwal kerja atau kesibukan yang lain sehingga mereka tidak punya pilihan untuk makan bersama orang lain.

Tradisi Makan Bersama
Di Indonesia, kebiasaan makan bersama sudah menjadi tradisi terutama di beberapa daerah. Di tatar Sunda misalnya, masyarakat sunda mengenal tradisi makan bersama yang disebut ngaliwet. Ngaliwet sendiri sebenarnya merupakan proses menanak nasi tanpa mengukus nasi setengah matang, tetapi dengan menanak nasi di dalam satu panci atau kastrol sampai matang kemudian biasanya diberi bumbu yang sederhana seperti garam, serai dan salam. Ngaliwet dilakukan secara bersama-sama, mulai dari proses membuat nasi liwet, masak lauk seperti ikan asin lalapan sambal, sampai nasi disajikan.
Nasi disajikan dalam beberapa lembar daun pisang sebagai alas makan. Semua nasi beserta lauk pauknya disebar ke seluruh bagian daun pisang sesuai jumlah orang yang ikut ngeliwet. Setelah nasi dan lauk pauk tersaji maka disantap beramai-ramai. Tradisi ngaliwet hingga saat ini masih sering dilakukan masyarakat Sunda dengan tujuan untuk mempererat kebersamaan dan kekeluargaan lewat makanan.
Masyarakat Papua juga mengenal tradisi makan bersama yaitu bakar batu. Di daerah Pasema Kurima, Kabupaten Yahukimo, sebelah timur laut Wamena, bakar batu dilaksanakan oleh segenap anggota suku, setiap anggota suku memiliki perannya masing-masing. Ada yang mengambil batu kali; kayu bakar; serta membawa daun, sayuran, ubi dan daging.
Batu kali yang diambil dari sungai setelah dibersihkan dibakar sampai membara dengan kayu besi. Batu yang sudah membara ini dimasukan ke dalam lubang, kemudian dilapisi daun alang-alang atau rumput. Setelah itu, ubi jalar disusun di atasnya.
Lapisan berikutnya adalah daun alang-alang atau rumput dan batu membara lagi yang diisi dengan sayuran yang terdiri dari daun ubi jalar, daun singkong, daun pepaya, labu parang, jagung muda, ayam atau daging babi serta buah merah. Sayuran ini kemudian ditutupi lagi dengan daun sampai rapat dan di atasnya ditimbun dengan batu membara.
Selanjutnya, lubang bakar batu didiamkan selama sekitar dua jam. Selama dua jam tersebut, ubi sayuran dan dagin akan masak dengan sempurna. Setelah itu segenap anggota suku beramai-ramai menyantap makanan yang telah dimasak tersebut. Tradisi bakar batu biasanya dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat, terutama satu suku atau untuk mempererat hubungan ikatan keluarga.
Ngaliwet maupun bakar batu sama-sama memiliki tujuan untuk mempererat hubungan sosial, karena ketika makan bersama yang didahului masak bersama, setiap orang berkumpul dan bergotong-royong untuk menghasilkan makanan yang kemudian akan dimakan bersama menghadirkan ikatan sosial yang lebih kuat.

Meskipun begitu, Gilda menambahkan bahwa makan bersama dapat menstimulasi perasaan positif, tetapi makan bersama juga bisa jadi sumber konflik karena interaksi sosial yang terikat pada hirarki, norma, dan aturan-aturan. Tetapi makan bersama tidak hanya berarti makan bersama kelompok sosial tertentu yang jumlahnya banyak, makan bersama juga bisa dilakukan bersama keluarga, teman, atau pasangan. Makan bersama keluarga, teman, atau pasangan justru dianggap lebih intim dan personal karena tidak perlu mengikuti aturan sosial.
Pandangan Mengenai Makan Sendiri
Pandangan bahwa makan sendiri tidak lebih baik dibandingkan dengan makan bersama dikuatkan dengan hasil penelitian Jurnal Obesity Research and Clinical Practice tentang bahaya makan sendirian. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang makan sendirian setidaknya dua kali dalam sehari dapat mengakibatkan sindrom metabolik, yaitu kondisi kesehatan yang berbahaya seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol, meningkatkan resiko penyakit jantung stroke dan diabetes

Selain itu, makan sendirian juga memiliki efek psikis. Orang dewasa yang sering makan sendirian cenderung merasa kesepian, merasa dikucilkan dan kemungkinan besar makan makanan yang tak sehat sebagai cara mengalihkan rasa kesepian. Tetapi Gilda kemudian menyebutkan bahwa makan sendirian sebenarnya bisa jadi sumber kebahagiaan. Ketika seseorang makan sendirian, ia terbebas dari beberapa kendala sosial, selain itu juga memiliki kebebasan memilih makanan dan tempat makan yang disukai, meskipun cenderung memilih makanan yang tak sehat.
Jadi, apakah makan bersama lebih baik ketimbang makan sendiri? Pada akhirnya tergantung pada selera masing-masing, asal ingat terlalu sering makan bersama tidak baik, begitupun dengan terlalu sering makan sendiri. Gara-gara bahas plecing kangkung di awal, tiyang jadi rindu dan berniat untuk makan plecing kangkung lagi. Tapi, makannya bersama orang lain atau makan sendiri, ya?