Bali dikenal sebagai jantung kebudayaan dan ritus peribadatan Hindu terbesar di Indonesia. Setiap tahunnya umat Hindu di Bali dan beberapa kawasan di Indonesia rutin melakoni ibadah Nyepi. Selain keheningan yang dihadirkannya, ritual-ritual yang dilakukan menjelang nyepi dan sesudah nyepi tidak akan lengkap tanpa sajian-sajian dapur yang menghiasi meja hidangan.
Meskipun umat Hindu akan menahan lapar dan tidak menyalakan lampu di kediaman, hidangan upacara adat tetap tidak bisa dilepaskan dari ritual ini, terutama saat menjalani hari ke dua dari perayaan Nyepi.
Menurut Sirtha (1998) dalam Aspek Budaya Makanan Tradisional Bali dalam Menunjang Program Pariwisata dalam Dinamika Kebudayaan, makanan tradisional khas Bali secara harfiah mulai berkembang sejak masuknya Agama Hindu di Bali.
Makanan itu telah menjadi makanan asli Bali, bukan saja untuk masyarakatnya. Melainkan secara religius diperuntukkan bagi para dewa-dewi bagi kepercayaan yang mereka anut. Makanan-makanan jenis ini dituang dalam lontar Indik Maligia, dan sangat berbeda dengan makanan yang diperuntukkan bagi manusia Bali, yang tertuang dalam lontar Dharma Caruban.
Tentu, keberadaan aneka makanan asli Bali sejurus dengan berlimpahnya sumber daya alam yang ada di sana. Letusan gunung api yang telah terjadi ribuan tahun silam juga turut mewarnai perjalanan kuliner Bali, bersama dengan aneka potensi alam yang tersedia di tanah dewata itu.
Orang Bali mengenal sistem keseimbangan dan hal-hal kontras, yang biasa kita saksikan di sepanjang jalan, melalui kain kotak-kotak yang membalut batang-batang pohon besar, dan hal ini dapat kita temukan pula dalam sajian lezat kuliner khas Bali. Masyarakat Bali membedakan makanan yang disajikan untuk jamuan dan yang disantap setiap harinya.
Orang Bali biasa menyantap nasi setiap hari. Mereka umumnya tidak menyukai makan yang berlebihan. Mereka biasa menikmati makan sendirian dengan tempo yang cepat. Sedangkan untuk sajian peribadatan, orang Bali menikmatinya secara komunal dan dihidangkan dalam porsi yang besar, termasuk Betutu.
Suciani dkk (2009) dalam Karakteristik Produk Betutu Ayam Dengan Pembungkus Berbeda Yang Disimpan Dingin Suhu 5°C mengungkapkan bahwa Betutu merupakan jenis makanan tradisional Bali yang bahan mentahnya berupa itik atau ayam dalam bentuk yang utuh.
Penggunaan kedua bahan utama ini tergantung selera dan situasi tertentu dari pihak yang bersangkutan. Istilah Betutu diambil dari tumu (bakar) dan be (daging ayam). Sehingga apabila disambung dapat berarti daging ayam yang dibakar, hanya saja proses pembakarannya berbeda dengan produk lain.

Keunikan Betutu terletak pada cita rasa dan tampilannya yang khas. Daging Ayam yang telah dibersihkan, ditambah bumbu khas Bali yang kemudian dibalurkan ke seluruh permukaan tubuh ayam dan sebagian dimasukkan ke dalam rongga abdomen. Setelah itu, apabila diperlukan dapat direbus terlebih dahulu atau langsung dibakar.
Aroma khas muncul karena adanya pemanasan yang menyebabkan air menguap. Lemak daging berantai pendek pun ikut menguap dan menghasilkan aroma yang semakin memanjakan indera penciuman saat suhu dinaikkan.
Tidak hanya soal cita rasa dan aromanya yang khas, tampilan Betutu pun sangat menarik. Kembali ke cara pembuatan Betutu, daging yang telah dibersihkan tak hanya diisi bumbu rempah, melainkan juga daun singkong. Nah, kepala itik dimasukkan ke dalam rongga perut yang berisi bumbu tersebut.
Kaki ayam atau itik dipatahkan ke arah perut dan ditutupi oleh masing-masing sayap, kemudian diikat. Setelah terikat rapi, bentuknya akan terlihat seperti sikap Sang Hyang Ganapati sedang beryoga. Ya, Betutu tak lain merupakan simbol dan perwujudan dari dharma atau kesucian. Tidak heran apabila Betutu selalu hadir dalam tiap upacara dan ritual adat khas Bali, karena mengandung maksud memohon kesucian dan dharma ke hadapan Sang Hyang Widhi. Hal ini biasa dibahasakan dengan Bahasa Widhi.
Betutu khas Bali dapat ditemukan dengan mudah di dua wilayah utama, yakni Gianyar dan Gilimanuk. Yang membedakan keduanya adalah bumbu raciknya. Bumbu utama versi Gilimanuk adalah cabai rawit dan bawang putih. Proses pemasakan dilakukan di dalam dandang besar untuk memasak beberapa ekor ayam atau itik sekaligus.

Sedangkan Betutu Gianyar lebih lengkap bumbunya, yakni terdiri dari base genep (bumbu lengkap) dan base wangen (bumbu harum). Betutu ini dibungkus dalam upih atau pelepah pinang, kemudian dibakar dalam bara sekam padi selama delapan jam lebih sehingga menghasilkan ayam yang sangat empuk.
Proses memasak yang memakan waktu cukup lama ini mengandung artian proses dalam kehidupan manusia. Setiap manusia, termasuk orang Bali diharapkan mampu menghargai proses yang membentuk kehidupan dan menyerahkan semuanya pada Sang Pengatur Jalan Hidup.
Naik Turunnya Hidangan Betutu
Sempat menghilang dari peredaran, Betutu dihidupkan kembali dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Adalah Men Tempeh alias Men Jenek yang memperkenalkan betutu kembali pada tahun 1978. Men Tempeh yang berasal dari Abianbase, Gianyar dan suaminya yang berasal dari Tanggaan, Bangli membuka usaha Ayam Betutu setelah melalui perjuangan yang panjang sebagai perantau di Denpasar. Setelah Men Tempeh meninggal di tahun 2004, usaha restoran Ayam Betutu miliknya dilanjutkan oleh sang suami, Made Suratna atau yang akrab disapa Pan Tempeh.
Beberapa penduduk Bali pun mulai mengikuti jejak Men Tempeh. Beberapa di antaranya masih menggunakan cara tradisional, seperti yang ditulis dalam Studi Ayam Betutu Sebagai Warisan Budaya Kuliner Bali oleh Apri, I Made Rumadana (2016). Salah satunya adalah pembuat ayam betutu bernama I Ketut Rimpin.
Pembuatan Ayam Betutu ini berbasis usaha rumahan yang dirintis sekitar tahun 1980-an oleh kakaknya, I Made Darsa. Pembuatan Ayam Betutu ini tergolong masih tradisional, karena menggunakan teknik pengolahan tradisional, yakni dengan dibakar atau diungkep menggunakan bara sekam. Meski tidak sepopuler Betutu Men Tempeh, cita rasa yang dihasilkan dari racikan tradisional ini tidak perlu diragukan.
Ayam Betutu sangat berkaitan erat dengan budaya dan adat masyarakat Bali. Ayam Betutu biasa digunakan dalam ritual keagamaan masyarakat Hindu Bali sebagai pelengkap sarana upacara, seperti Ngaben, Tumpek, dan lainnya.
Ayam betutu juga biasa digunakan sebagai lauk untuk ajengan kepada para pemimpin upacara adat atau keagamaan di Bali, seperti Pedanda, dan Sulinggihyang. Bebek atau Ayam Betutu yang digunakan untuk upacara adat adalah betutu versi Pan Rimpin, yang menggunakan teknik tradisional dalam pembuatannya.
Ayam betutu juga digunakan dalam tradisi megibung, khusunya di daerah Karangasem. Selain itu, turut disajikan pula dalam acara pernikahan maupun perhelatan akbar lainnya.
Tentu bagi pembaca yang tertarik dengan kebudayaan Bali, sekaligus mencicipi cita rasa yang melegenda ini, Ayam Betutu khas Bali menjadi satu hal yang tidak boleh dilewatkan ya! Selain karena kandungan gizi yang beragam, kuliner ini merupakan warisan budaya yang harus terus dilestarikan. Tertarik mencoba?