Gudeg adalah makanan khas dari Provinsi Yogyakarta. Terkenalnya Gudeg telah dimulai sejak lama. Gudeg yang sangat terkenal adalah gudeg Yu Djum.
Apa makanan khas dari Yogyakarta? Jawabannya Gudeg. Si hitam manis yang terbuat dari bahan utamanya yaitu nangka. Jika suka dengan makanan manis pasti akan suka dengan Gudeg.
Terciptanya Gudeg hingga kini masih simpang siur, yang jelas satu penjual Gudeg yang terkenal hingga kini adalah Gudeg Yu Djum.
Jadi seperti apakah cerita-cerita asal usul Gudeg yang beredar di masyarakat? Bagaimana Gudeg Yu Djum bisa jadi Gudeg Yang melegenda?

Sejarah Awal Kemunculan Gudeg di Yogyakarta
Berkunjung ke Jogja tak lengkap rasanya tanpa menikmati salah satu sajian kulinernya. Ya, apalagi kalau bukan gudeg. Gudeg pertama kali muncul ke permukaan saat prajurit Mataram membabat Alas Mentaok pada abad ke-16 silam.
Murdijati Gardjito dalam bukunya yang berjudul “Gudeg Yogyakarta”, sejarah gudeg di Yogyakarta dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede pada sekitar tahun 1500-an. Dalam salah satu upaya ekspansi wilayah keraton Mataram, babat hutan memang diperlukan, terlebih kerajaan membutuhkan wilayah baru.
Saat melakukan perintah raja berupa pembabatan hutan, para prajurit merasa lapar dan kelelahan. Saat itu, tumbuhan yang banyak ditemukan di hutan adalah nangka dan kelapa. Dua tanaman ini disantap langsung oleh para prajurit karena memang memungkinkan untuk dikonsumsi tanpa diolah terlebih dahulu.
Lambat laun, mereka mulai berpikir untuk mengolah nangka dan kelapa menjadi satu masakan yang bisa disantap bersama nasi. Maka dari itu, eksperimen pun dilakukan di dapur umum.
Ada tiga versi yang menyebut asal mula gudeg Jogja. Versi pertama menyebutkan bahwa gudeg merupakan hasil eksperimen dari para prajurit yang memasak buah nangka dan kelapa dalam satu bejana besar. Untuk mengaduk olahan itu, para prajurit harus menggunakan pengaduk yang panjang dan besar. Bentuknya menyerupai dayung perahu.
Proses mengaduk olahan di bejana yang cukup besar itu dinamakan hangudek. Lambat laun, hangudek dipersingkat penyebutannya menjadi gudeg. Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa asal mula gudeg berawal dari ketidaksengajaan memasak olahan santan dan buah nangka muda.
Masih berkaitan dengan peristiwa babat alas yang kini berada di Kotagede, pada saat itu para prajurit sedang sibuk menebang pohon, termasuk para petugas dapur yang tengah memasak gori (nangka muda) dan santan. Alhasil, gori yang telah bercampur dengan santan itu lupa diangkat selama 6-8 jam. Namun siapa sangka, ‘kecelakaan’ itu justru menciptakan makanan baru yang dinamai gudeg.

Versi ketiga justru berseberangan dengan dua versi sebelumnya. Versi itu mengatakan bahwa penemu gudeg bukanlah para prajurit yang bertugas di dapur umum, melainkan seorang istri prajurit yang bernama Sri Sumantri. Wanita ini pertama kali memasak gudeg menggunakan nangka muda yang dicampur dengan gula dan santan.
Disebutkan bahwa tahun penciptaan gudeg oleh Sumantri terjadi pada tahun 1557 Masehi. Ketiga versi itu sama-sama berkembang luas di masyarakat. Namun, minimnya dokumentasi dan literatur sejarah seputar validnya asal usul gudeg di Yogyakarta sukar dilacak dan ditemukan.
Setelah mengorbit di lingkungan keraton, gudeg pun keluar kandang dan menjajaki pasar-pasar tradisional di Yogyakarta. Resep rahasia yang semula hanya berkutat di lingkungan prajurit dan para penghuni keraton mulai sampai ke telinga masyarakat.
Gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini. Diceritakan di dalamnya, pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten. Di sana, Pangeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan dan salah satunya adalah gudeg.
Sentra industri pembuatan gudeg pun berada tak jauh dari lingkungan keraton, yakni di selatan Plengkung Tarunasura atau yang akrab disebut Plengkung Wijilan. Sejak tahun 1942 sampai sekarang, pusat penjualan gudeg di Wijilan ini selalu ramai diserbu pembeli. Bahkan, melahirkan beberapa ikon oleh-oleh khas Yogyakarta. Gudeg Yu Djum salah satunya.
Mengapa Gudeg Yu Djum Begitu Populer?
Gudeg Yu Djum adalah warung gudeg kedua yang dibuka di daerah Wijilan pada tahun 1950 dengan nama asli Gudeg Ibu Djuwariah. Sebelumnya, telah berdiri warung Ibu Slamet yang merintis usaha gudeg Yogya di tahun 1942, diikuti oleh Warung Gudeg Campur Sari yang sempat gulung tikar dan berganti brand.
Popularitas kedua warung gudeg raksasa itu tak secerah warung gudeg Ibu Djuwariah. Dinamakan Warung Gudeg Ibu Djuwariah, karena sesuai dengan nama pendiri dan peracik gudeg warung ini. Cita rasanya khas, menggambarkan nuansa Jogja yang manis dan hangat.

Semula Ibu Djuwariah meracik gudegnya di dapur yang terletak jauh dari Wijilan, tepatnya di kampung Mbarek, seberang Kampus Universitas Gadjah Mada. Gudeg-gudeg hasil racikan tangannya itu digendong oleh Mbah Djuwariah ke warung di pinggiran trotoar wijilan setiap harinya. Lambat laun, Mbah Djuwariah mulai mengangkut dagangannya dengan becak dan andong. Sebutan ‘Yu Djum’ pun hadir sepaket dengan semakin berkembangnya makanan tradisional ini.
Tak hanya di kalangan masyarakat Jogja, cita rasa yang melegenda a la Gudeg Yu Djum pun menggaung hingga ke luar kota, bahkan lintas benua, seperti Eropa. Getirnya perjuangan Mbah Djum dalam mewarisi peninggalan leluhur berupa gudeg menjadikan Gudeg Yu Djum tersohor di kalangan para pelancong. Tak hanya soal citarasa, warisan sejarah dan tradisi nampaknya menjadi nilai jual tersendiri bagi warung gudeg yang telah berdiri sejak 1950 silam ini.
Seperti tujuan awal penciptaan gudeg, makanan ini dibuat sebagai lauk pelengkap nasi. Gudeg Yu Djum juga menyajikan beberapa lauk tambahan untuk menemani gudeg di piring saji, seperti tahu, tempe, telur rebus, daging suwir, kacang goreng, ayam hingga sambal.
Cara penyajian gudeg ini beragam, mulai dari per porsi, hingga memilih aneka lauk tambahan yang disediakan, sehingga lebih menghemat kantong. Tak heran, masyarakat menganggap gudeg sebagai makanan yang fleksibel, karena dapat ditambah dengan berbagai macam lauk, maupun disantap hanya dengan kuah atau areh.

Pada masa silam di Yogyakarta, gudeg tidak hanya dipandang sebagai makanan, melainkan juga cerminan ekonomi masyarakat atau tolak ukur kekayaan seseorang. Orang-orang yang menikmati gudeg dengan kuahnya saja dapat dipastikan berasal dari kalangan bawah. Sedangkan orang-orang ningrat atau keluarga kelas menengah ke atas biasa menyantap gudeg dengan tambahan lauk telur dan ayam.
Gudeg kini telah dikreasikan sesuai permintaan pasar. Apabila dahulu masyarakat hanya bisa menikmati gudeg basah atau berkuah, maka saat ini hadir gudeg kering di pasaran, terutama untuk menjembatani keinginan membawa gudeg sebagai oleh-oleh para mahasiswa perantau.
Sebagai salah satu ikon gudeg terpopuler di Yogyakarta, Gudeg Yu Djum juga turut berinovasi terhadap produk gudegnya. Produsen gudeg ini turut menjual gudeg kering yang memiliki kelebihan tidak mudah basi. Sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bagi para pelancong yang ingin memboyong panganan khas Jogja ini ke rumah.
Selain menyesuaikan minat pasar, gudeg Yu Djum juga terkenal dengan harganya yang terjangkau. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya beberapa tahun silam, Yu Djum meracik gudegnya sendiri, meski ia telah merekrut banyak pegawai.
Proses peracikan yang dilakukan oleh Yu Djum sendiri ini dipercaya sebagai bentuk penjagaan kualitas cita rasa dari gudegnya. Seperti yang telah diungkapkan di awal, Yu Djum mewarisi ilmu pembuatan gudeg dari para leluhurnya.
Seiring bertambahnya waktu, cabang warung makan gudeg Yu Djum dibangun di beberapa titik, sehingga memudahkan akses para pelancong yang ingin menikmati sepiring gudeg legendaris ini. Tak sulit menemukan warung ini di antara hiruk pikuk dan keramaian, terutama saat mendapati wajah Yu Djum menghiasi papan-papan raksasa penanda warung berada.