Papeda dikenal sebagai suatu makanan khas Indonesia timur yang terbuat dari sagu. Menurut kebiasaan masyarakat Maluku dan Papua, makanan berwarna putih dan bertekstur kenyal ini sering disantap bersama ikan bumbu kuning.
Papeda merupakan makanan yang kaya serat, rendah kolesterol dan cukup bernutrisi. Morfologi alam Maluku dan Papua yang berbeda dengan Jawa, sebagai daerah penghasil padi, membuat masyarakatnya bergantung penuh pada sagu dan aneka olahan makanan pokok pengganti beras itu.
Seiring berjalannya waktu, olahan Papeda mulai ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, tak hanya Maluku, Papua dan Sulawesi. Bahkan, sejak beberapa tahun belakangan, Papeda tak lagi dinikmati sebagai makanan pokok, melainkan cemilan berupa papeda gulung dan papeda goreng. Jajanan atau street food ini bisa ditemukan di ruas-ruas jalan maupun di gerobak para pedagang yang biasa mangkal di area sekolahan.
Cerita Singkat Asal Usul Papeda
Merunut dari garis sejarah, Papeda tidak bisa dilepaskan dari sagu sebagai bahan penyusun utamanya. Melansir dari Laporan Penelitian Jeremia Limbongan (2007) berjudul Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua, Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.) merupakan tanaman asli Asia Tenggara.
Penyebaran tanaman ini meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai ke Pulau Jawa dan Nusa Tenggara bagian selatan. Tanaman sagu tumbuh secara alami, terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah.
Tanaman ini masih dapat tumbuh baik pada ketinggian 1.250 mdpl dengan curah hujan 4.500mm/tahun. Sekitar 50% tanaman sagu dunia atau 1.128 juta ha tumbuh di Indonesia dan 90% dari jumlah tersebut atau sekitar 1.015 juta hektar berkembang di Provinsi Papua dan Maluku. Dari jumlah yang sedemikian banyak itu, potensi produksi tepung sagu yang dapat dihasilkan dari luas tersebut adalah 6,9 juta ton.
Pada daerah-daerah yang terisolasi dan sulit dijangkau seperti Papua, pengolahan sagu masih dilakukan secara tradisional. Menurut Oates dan Hicks dalam Sago Starch Production in Asia and the Pacific-Problems and Prospects (2002), cara pengolahan secara tradisional sejak beberapa ratus tahun lalu hanya sedikit yang mengalami perubahan.

Masyarakat Papua memanfaatkan sagu sebagai bahan utama pembuatan papeda. Konsumsi papeda ini terbagi atas beberapa jenis, diantaranya papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan.
Kegiatan produksi dan konsumsi tanaman endemik ini tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakat Papua terdahulu, seperti ladang berpindah, meramu, berburu dan melaut. Sagu yang kemudian diolah menjadi papeda itu memiliki perjalanan yang cukup panjang bersamaan dengan sejarah persebaran umat manusia di Tanah Papua.
Seperti dilansir dari halamanpapua.org, sebagai arketipe ekonomi subsisten, pola kehidupan meramu dan berbulu sangat bergantung pada kemurahan alam. Contoh sederhananya adalah komunitas peramu dan pemburu yang selalu tinggal dekat dengan pohon sagu dan mengumpulkan sagu dari seluruh sudut belantara hutan.
Selain mengolah sagu, mereka juga menyediakan kebutuhan subsistem lainnya dengan berburu binatang hutan dan mengumpulkan buah-buahan serta sayuran. Di wilayah Asia Tenggara, salah satu kegiatan kultivasi adalah dengan mengolah sagu jauh sebelum munculnya pembudidayaan padi.
Pohon Sagu bahkan digambarkan sebagai tanaman pangan tertua umat manusia. Batang yang berisi digunakan oleh pohon sagu sebagai makanan cadangan untuk berbuah dan berbunga. Pati ini telah lama dimanfaatkan menjadi makanan pokok bagi orang-orang Asia Tenggara, khususnya sebagai penunjang kebutuhan subsisten.
Roy Ellen, salah seorang peneliti etnobiologi yang banyak meneliti sagu di Maluku dan Papua menguatkan bukti kepurbaan sagu bagi masyarakat Asia Tenggara. Pati Sagu diekstrak dari sejumlah pohon sagu dan besar dugaan bahwa ekstrak itu digunakan sebagai makanan pokok.
Meskipun bukti arkeologis sangat terbatas, namun beberapa petunjuk seperti residu pati sagu dari tumpukan sisa arkeologis dan sejumlah perkakas batu menguatkan tesis tersebut. Tidak hanya itu, bukti lain yang turut mendukung penggunaan data prasejarah adalah paleobotani, botani dan inferensi etnografi yang banyak berkutat di permasalahan-permasalahan tersebut.
Menengok Cara Memasak Sagu

Pengolahan pati sagu di Indonesia Timur, tepatnya lebih mengarah ke pemanfaatan tungku gerabah atau tembikar sebagai sarana pengolahan pati sagu, menjadi makanan yang bisa mengakrabkan diri dengan lidah. Dalam bentuk papeda, misalnya.
Ekstraksi Pati Sagu diperkirakan sudah berlangsung di zaman pleistosen, jauh sebelum 30.000 SM di kawasan paparan Sahul atau Indonesia bagian timur. Cara mengolah sagu adalah dengan dikeringkan menjadi tepung sagu yang dapat bertahan lama.
Migrasi dan persebaran pemukiman diduga sebagai penyebab munculnya ide pengeringan batang sagu ini. Kepulauan Maluku dan Papua sebagai wilayah yang paling banyak ditumbuhi ragam tanaman purba ini memberi gambaran signifikan terhadap pentingnya sagu bagi kehidupan masyarakat.
Masyarakat Maluku dan Papua tidak hanya menggunakan sagu sebagai makanan pokok (dalam bentuk papeda), melainkan turut berfungsi sebagai seperangkat sistem pengetahuan dan religi bagi mereka.
Simbol dan Rasa Papeda Bagi Rakyat Papua
Pada masyarakat yang masih kental corak subsistensinya, sagu disimbolkan sebagai pemberi kehidupan. Tidak heran berbagai ritus diadakan untuk mengiringi proses pengolahan sagu menjadi makanan pokok, mulai dari meminta izin ketika hendak menebang, membersihkan semak-semak sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran hingga sagu siap disantap baik dalam bentuk lempeng sagu bakar maupun olahan papeda.
Papeda dikenal lebih luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan Arab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari. Di berbagai wilayah ini, sagu yang telah diolah menjadi beberapa produk makanan, seperti papeda akan dengan mudahnya dijumpai. Terutama saat beruntung mengikuti aneka ritual adat pengolahan sagu di wilayah ini.

Pada umumnya, papeda dikonsumsi bersama dengan ikan tongkol. Namun, dapat pula dikombinasikan dengan ikan gabus, kakap merah, bubara hingga ikan kue. Selain kuah kuning dan ikan, bubur papeda juga dapat dinikmati dengan sayur ganemo yang diolah dari daun melinjo muda yang ditumis dengan bunga pepaya muda dan cabai merah.
Rasa tawar yang berasal dari kenyalnya bubur papeda berpadu dengan gurihnya makanan pelengkap tersebut. Menciptakan kesan terbaik di indera pengecap penikmatnya.
Sebagai makanan yang berbahan baku sagu, kandungan gizi dalam papeda cukup tinggi. Makanan ini mampu mengatasi pengerasan pada pembuluh darah, mengatasi sakit pada ulu hati, dan perut kembung. Kandungan indeks glikemik yang rendah pada sagu membuatnya aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.
Mengkonsumsi papeda secara rutin dipercaya mampu menghilangkan penyakit batu ginjal karena sifat papeda yang dapat berperan sebagai pembersih organ-organ di dalam tubuh manusia. Nah, tak hanya sarat makna dan sejarah, makanan satu ini juga sangat bergizi bukan? Jadi, sudah tidak ada alasan lagi untuk menampik pesona papeda saat berkunjung ke Tanah Papua, ya?